Prospek Cerah Saham Sawit 2025, Meski Pungutan Ekspor Naik Jadi 10%

4 Min Read

Kinerja emiten sawit diproyeksikan tetap solid sepanjang 2025, meski dihadapkan pada tantangan baru berupa kenaikan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dari 7,5% menjadi 10% per 17 Mei 2025. Sejumlah analis pasar menilai sektor ini masih menyimpan potensi pertumbuhan, seiring peningkatan produksi dan tingginya permintaan global maupun domestik.

Kiwoom Sekuritas Indonesia mencatat bahwa mayoritas emiten sawit mencetak lonjakan laba bersih yang signifikan pada kuartal I/2025. Hal ini menunjukkan optimisme investor terhadap prospek sektor kelapa sawit, meskipun dihantam dinamika kebijakan dan kondisi eksternal global.

- Advertisement -

Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menyoroti kinerja PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) yang berhasil membukukan laba bersih Rp341,5 miliar atau melonjak 233% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu, PT Citra Borneo Utama Tbk. (CBUT) mencetak pertumbuhan laba bersih sebesar 28,8% yoy.

Menurut Liza, pencapaian tersebut tak lepas dari perbaikan produktivitas kebun sawit secara nasional. Bahkan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan produksi CPO nasional akan naik 4%-5% sepanjang 2025.

Namun, kebijakan kenaikan pungutan ekspor CPO tetap menjadi tantangan. Kenaikan pungutan ini diproyeksikan dapat menekan margin laba bersih emiten sebesar 3%-5% dalam jangka pendek. Meski demikian, emiten seperti SSMS dan CBUT tetap optimistis dan menyiapkan strategi efisiensi serta ekspansi hilirisasi untuk menjaga profitabilitas.

- Advertisement -

Dari sisi harga komoditas, prospek CPO masih positif. Rata-rata harga CPO diperkirakan berada di level MYR 4.350 per ton atau naik 5,4% dibandingkan tahun lalu, ditopang oleh mandatori program biodiesel B40 serta potensi gangguan cuaca yang bisa mengganggu pasokan global.

Senior Equity Research Analyst Mirae Asset Sekuritas, Farras Farhan, memproyeksikan harga CPO tetap stabil di kisaran MYR 4.100 – MYR 4.200 per ton hingga akhir 2025. Menurutnya, stabilitas harga ini didukung oleh program B40 dan permintaan tinggi dari negara seperti Vietnam, Thailand, dan India.

“Pandangan kami terhadap saham-saham CPO masih cukup bullish. Kinerja positif kuartal I berpotensi berlanjut ke kuartal-kuartal berikutnya,” ujar Farras.

Namun, ia mengingatkan adanya risiko penurunan margin pada kuartal II dan III/2025 karena beban pemupukan baru akan terefleksi. Meski begitu, secara tahunan, pertumbuhan laba emiten sawit masih diyakini tetap impresif.

Saat ini, harga CPO berada di kisaran MYR 3.900 per ton, yang menurut Farras sudah mencerminkan harga fundamental. Ia pun melihat peluang kenaikan harga pada kuartal selanjutnya, dengan curah hujan yang diperkirakan tidak ekstrem sehingga pasokan tetap terjaga.

Terkait kenaikan pungutan ekspor, Farras menyebut dampaknya bagi emiten CPO tidak terlalu besar, tetapi akan terasa bagi perusahaan yang fokus pada ekspor seperti SSMS. Kebijakan ini juga dipandang sebagai dorongan pemerintah untuk memperkuat konsumsi dalam negeri.

“Tujuannya jelas, mendorong produsen untuk meningkatkan pasokan ke pasar domestik,” tambahnya.

Ia juga merekomendasikan saham emiten sawit dengan struktur keuangan sehat, profil utang rendah, serta rajin membagikan dividen. Salah satu yang menarik perhatian adalah PT Triputra Agro Persada Tbk. (TAPG), yang baru saja membagikan dividen dan berencana ekspansi ke bisnis biodiesel.

Secara fundamental, Farras memperkirakan target harga saham TAPG dapat mencapai Rp1.200 – Rp1.300 per lembar dalam jangka menengah.

Dengan kombinasi dukungan kebijakan biodiesel, prospek harga yang stabil, serta performa kuartalan yang impresif, sektor sawit dinilai tetap menjadi salah satu primadona di pasar saham Indonesia tahun ini.

Share This Article