Proyek Nikel HPAL Kian Gencar, Meski Harga Sulfur Tinggi Ancam Margin

4 Min Read

Sejumlah emiten tambang nikel terus tancap gas mengembangkan proyek High-Pressure Acid Leach (HPAL) untuk mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV), meskipun dibayangi volatilitas harga dan kenaikan tajam biaya bahan baku seperti sulfur.

Langkah diversifikasi ke segmen hilirisasi nikel melalui teknologi HPAL dinilai menjadi strategi tepat di tengah lesunya harga batu bara. PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA), melalui anak usahanya PT Merdeka Battery Materials Tbk. (MBMA), menjadi salah satu pionir yang tengah mengebut pembangunan fasilitas HPAL yang dioperasikan oleh PT Sulawesi Nickel Cobalt (SLNC) di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah. Proyek ini ditargetkan memproduksi 90.000 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) per tahun.

- Advertisement -

Dua pabrik lainnya yang tengah dikembangkan adalah milik PT ESG New Energy Material di Tambang Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) dengan kapasitas 55.000 ton per tahun, dan PT Meiming New Energy Material dengan target 25.000 ton per tahun.

Dalam riset Phintraco Sekuritas tertanggal 13 Juni 2025, disebutkan bahwa ekspansi ini akan menciptakan prospek cerah, meski nickel pig iron (NPI) masih menjadi tulang punggung pendapatan. “Segmen nikel akan memaksimalkan margin keuntungan dengan produksi NPI sebesar 80.000–87.000 ton per tahun, dengan biaya tunai terkendali di bawah US$11.000 per ton,” tulis analis.

PT Harum Energy Tbk. (HRUM) juga tak mau kalah. Emiten ini menganggarkan belanja modal senilai US$400 juta untuk ekspansi tambang nikel dan instalasi teknologi smelter HPAL. Fasilitas di bawah PT Blue Sparking Energy (BSE) diproyeksikan mulai memberikan kontribusi laba mulai akhir 2025 atau awal 2026.

- Advertisement -

“Kontribusi nikel diperkirakan mencapai 55% dari total pendapatan HRUM pada 2025, dan akan meningkat signifikan di tahun-tahun berikutnya,” ujar Arief Machrus, analis Ina Sekuritas.

PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) juga bergerak agresif melalui tiga proyek strategis senilai US$8,5 miliar, mencakup Indonesia Growth Project (IGP) Pomalaa, IGP Morowali, dan pembangunan HPAL Sorowako.

Sementara itu, PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) menggandeng Ningbo CBL Lygend dalam proyek HPAL di Halmahera Timur. Menurut MNC Sekuritas, penjualan bijih nikel ANTM diperkirakan tumbuh 85,4% secara tahunan (YoY) menjadi Rp10 triliun sepanjang 2025, ditopang oleh proyek HPAL dan pembangunan Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) senilai Rp5 triliun.

Harga Sulfur Tinggi Ancam Margin HPAL

Di balik ambisi besar membangun ekosistem baterai EV, industri HPAL kini menghadapi tantangan serius: lonjakan harga sulfur. Bahan baku utama untuk memproduksi asam sulfat—yang digunakan dalam proses HPAL—mengalami kenaikan signifikan dalam setahun terakhir.

Laporan Bloomberg pada Kamis (19/6/2025) mencatat, produsen HPAL kini harus menanggung tambahan biaya sekitar US$2.500 per ton MHP akibat mahalnya sulfur. Menurut Luigi Fan, analis SMM Information & Technology Co., margin keuntungan pabrik HPAL bisa menipis drastis.

“Diperlukan sekitar 12 ton sulfur untuk memproduksi 1 ton MHP. Saat ini, biaya produksi MHP sudah menyentuh US$11.000 per ton,” jelasnya. Ia memperkirakan margin akan sangat tipis di akhir 2025 hingga awal 2026.

Meski demikian, para analis tetap optimistis bahwa tren adopsi HPAL akan terus berlanjut. Angela Durrant, analis logam dasar di CRU Group, memproyeksikan produksi nikel MHP akan melesat hingga 619.000 ton pada 2026—naik lebih dari 30% dari tahun ini.

HPAL Jadi Andalan Smelter Masa Depan

Di Indonesia, teknologi HPAL sudah diadopsi secara luas. PT Halmahera Persada Lygend—bagian dari Grup Harita Nickel—menjadi pelopor proyek ini. Proyek-proyek baru lainnya termasuk fasilitas milik Nickel Industries Ltd. yang didukung oleh Tsingshan Holding Group dari China, serta proyek joint venture PT Harum Energy di Weda Bay.

Teknologi HPAL menawarkan keunggulan dibanding metode konvensional seperti RKEF, karena mampu mengolah bijih nikel kadar rendah (limonit) yang sebelumnya dianggap tidak ekonomis. Selain itu, HPAL menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dan konsumsi energi yang lebih efisien.

Share This Article