Di tengah melonjaknya harga beras yang terus berada di atas batas eceran tertinggi (HET), para pengamat mendesak pemerintah segera menugaskan Perum Bulog untuk mempercepat penyaluran beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Langkah ini dinilai penting agar masyarakat dapat memperoleh beras dengan harga lebih terjangkau, sekaligus mengurangi beban penyimpanan cadangan beras pemerintah (CBP) yang kini telah menumpuk hingga 4 juta ton.
Berdasarkan data real-time per Kamis (29/5/2025) pukul 21.41 WIB, Bulog tercatat telah menyerap beras setara 2.407.257 ton. Sementara total stok beras nasional mencapai 4.001.059 ton. Jika merujuk pada Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) Sabtu (31/5/2025) pukul 12.30 WIB, harga rata-rata beras premium berada di angka Rp15.649 per kilogram dan medium Rp13.836 per kilogram, keduanya melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp14.900 dan Rp12.500 per kilogram secara berturut-turut.
Harga Gabah Naik, Bulog Diminta Maksimalkan Distribusi
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menjelaskan bahwa lonjakan harga beras terjadi akibat kenaikan harga gabah, yang membuat pengusaha harus menyesuaikan harga jual demi menjaga margin keuntungan. Namun, menurutnya, intervensi pemerintah melalui operasi pasar menjadi sangat krusial dalam situasi ini.
“Dengan stok yang cukup besar, pemerintah memiliki kekuatan untuk menekan harga di pasar. Masyarakat pun memiliki alternatif membeli beras dengan harga yang lebih bersahabat,” kata Eliza, Sabtu (31/5/2025).
Ia menambahkan bahwa Bulog telah bekerja maksimal dalam menyerap hasil panen petani. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah segera menginstruksikan penyaluran agar stok tidak hanya menumpuk di gudang. “Kalau terlalu lama disimpan, kualitas beras bisa menurun dan itu berpotensi merugikan keuangan negara,” tegasnya.
Stok Dikuasai Swasta, Peran Negara Masih Terbatas
Eliza juga menyoroti dominasi sektor swasta dalam penguasaan stok beras nasional yang mencapai sekitar 90%. Sementara itu, pemerintah hanya menguasai sekitar 10% dari total cadangan, membuat intervensi harga melalui pasar sulit berdampak besar secara langsung. Meski demikian, ia menilai operasi pasar tetap perlu dijalankan untuk memberikan pilihan harga lebih murah bagi masyarakat.
Pandangan senada diungkapkan oleh Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Ia menilai stok beras idealnya hanya disimpan maksimal selama empat bulan, selebihnya harus segera disalurkan. “Beras bukan komoditas tahan lama. Semakin lama disimpan, biaya logistik meningkat dan kualitas beras menurun,” tegasnya.
Khudori memperingatkan bahwa cadangan beras yang terlalu lama disimpan tanpa distribusi berisiko menjadi stok mati, yang pada akhirnya justru membuat harga pasar semakin tak terkendali.
“Harga beras medium dan premium sudah berbulan-bulan melampaui HET. Buat apa punya stok besar kalau masyarakat tetap harus beli dengan harga tinggi?” pungkasnya.