Pasar keuangan global mulai mengantisipasi kemungkinan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) pada paruh kedua 2025. Meski demikian, peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan pada 18 Juni 2025 dinilai masih sangat kecil.
Ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi sorotan, terlebih setelah mantan Presiden Donald Trump secara terbuka mendesak The Fed untuk memangkas suku bunga acuan. Di sisi lain, Ketua The Fed Jerome Powell tetap mengambil sikap hati-hati dan menegaskan perlunya menunggu data inflasi dan ketenagakerjaan yang lebih solid sebelum mengambil keputusan besar.
Analis Finex, Brahmantya Himawan Financial, dalam risetnya pada Kamis (12/6/2025) menjelaskan bahwa jika penurunan suku bunga benar-benar terjadi, dampaknya akan terasa tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
“Pemangkasan suku bunga The Fed bisa mendorong arus modal asing masuk ke negara-negara dengan imbal hasil lebih tinggi, termasuk Indonesia. Ini berpotensi memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta meningkatkan daya tarik terhadap obligasi pemerintah dan instrumen investasi lokal lainnya,” jelasnya.
Secara global, lanjut Brahmantya, penurunan suku bunga cenderung memperlonggar likuiditas dan memicu pergeseran alokasi portofolio investor. Dampaknya pun bersifat luas dan kompleks, tak hanya pada nilai tukar, tetapi juga terhadap harga komoditas, pasar saham global, serta pasangan mata uang utama.
Beberapa instrumen yang sensitif terhadap perubahan suku bunga The Fed antara lain indeks saham seperti NASDAQ dan S&P 500, serta mata uang utama seperti EUR/USD, AUD/USD, dan GBP/USD.
Menurutnya, arah pasar sangat bergantung pada indikator ekonomi utama, seperti Consumer Price Index (CPI), Producer Price Index (PPI), data ketenagakerjaan seperti Non-Farm Payrolls (NFP) dan tingkat pengangguran, serta indikator pertumbuhan dan konsumsi seperti retail sales, Purchasing Managers’ Index (PMI), dan angka gross domestic product (GDP).
“Memahami keseluruhan indikator tersebut penting agar investor dan trader tidak terjebak pada respons emosional terhadap gejolak pasar. Edukasi menjadi kunci agar keputusan investasi lebih strategis dan tidak sekadar mengikuti tren,” paparnya.
Ia juga menambahkan, banyak pelaku pasar hanya melihat suku bunga dari sisi pinjaman dan investasi, padahal efek domino dari kebijakan moneter mencakup berbagai aspek ekonomi. “Reaksi pasar bisa sangat volatil, apalagi jika disertai kejutan data ekonomi atau tekanan geopolitik,” tutupnya.