Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,53% ke posisi Rp16.536 per dolar AS pada Rabu (7/5/2025).
Sementara itu, indeks dolar AS tercatat menguat tipis 0,03% ke level 99,42 pada waktu yang sama. Mata uang utama Asia juga ikut tertekan terhadap greenback, seperti dolar Taiwan yang melemah 0,42%, yuan China turun 0,12%, dan ringgit Malaysia terkoreksi 0,22%. Adapun baht Thailand melemah 0,02% dan won Korea Selatan jatuh 1,03%. Di sisi lain, yen Jepang dan peso Filipina justru menguat masing-masing 0,63% dan 0,38%.
Dalam pernyataan terbarunya, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 4,25%–4,50% dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) periode Mei 2025. Ini merupakan keputusan untuk mempertahankan suku bunga selama tiga kali berturut-turut sejak Desember 2024.
Ketua The Fed Jerome Powell menjelaskan bahwa pihaknya memantau dengan cermat tren inflasi dan potensi meningkatnya angka pengangguran di AS. “Untuk mendukung tujuan kami, hari ini FOMC memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga kebijakan,” kata Powell, Rabu malam waktu AS atau Kamis (8/5/2025) dini hari waktu Indonesia.
Powell juga menyoroti pertumbuhan ekonomi AS yang melambat pada kuartal I/2025, diduga dipengaruhi oleh meningkatnya impor untuk mengantisipasi kebijakan tarif resiprokal dari Presiden Donald Trump. “Kami akan melakukan apapun yang diperlukan untuk mencapai sasaran ketenagakerjaan maksimum dan stabilitas harga,” tegasnya.
Pasca keputusan tersebut, indeks dolar AS naik 0,23 poin atau 0,23% ke level 99,84 pada perdagangan pagi ini.
Indonesia dalam Tekanan Moneter
Fithra Faisal Hastiadi, Ekonom Senior di Samuel Sekuritas Internasional, menilai bahwa keputusan The Fed mempersempit ruang gerak kebijakan moneter Indonesia. Menurutnya, Bank Indonesia (BI) berada dalam posisi dilematis: menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang lesu.
“Dengan pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya mencapai 4,87% (YoY) pada kuartal I/2025—level terendah sejak 2021—penurunan suku bunga menjadi semakin tidak realistis di tengah pelemahan rupiah,” tulis Fithra dalam riset tertanggal Kamis (8/5/2025).
Dia menambahkan, tekanan inflasi barang impor juga meningkat seiring melemahnya yuan dan kenaikan biaya logistik global akibat tarif dagang Trump. Dalam kondisi ini, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan hingga setidaknya awal 2026.
“Setiap pemangkasan suku bunga yang terlalu dini dapat memicu arus keluar modal dan memperparah depresiasi rupiah,” pungkasnya.