Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan larangan masuk bagi warga dari 12 negara mulai hari ini, Senin (9/6/2025). Kebijakan yang ditandatangani Presiden Donald Trump itu diklaim sebagai langkah strategis untuk melindungi keamanan nasional dari ancaman terorisme asing.
Dikutip dari Reuters, Minggu (8/6/2025), negara-negara yang terdampak larangan penuh meliputi Afghanistan, Myanmar, Chad, Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Sementara itu, tujuh negara lainnya—yakni Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela—menghadapi pembatasan sebagian.
Trump menyatakan bahwa negara-negara tersebut dianggap sebagai lokasi persembunyian teroris berskala besar, gagal bekerja sama dalam sistem keamanan visa, tidak memiliki kemampuan verifikasi identitas pelancong, serta memiliki tingkat pelanggaran visa dan kekurangan dokumentasi kriminal yang tinggi.
Insiden di Colorado Dijadikan Alasan Tambahan
Trump menyoroti insiden yang terjadi di Boulder, Colorado, pada pekan lalu, di mana seorang warga Mesir melemparkan bom bensin ke arah demonstran pro-Israel. Ia menjadikan kejadian itu sebagai contoh perlunya penguatan kontrol imigrasi. Meski begitu, Mesir tidak termasuk dalam daftar negara yang terkena larangan.
Kebijakan ini mengingatkan publik pada tindakan serupa pada masa jabatan pertama Trump, ketika ia melarang masuknya pelancong dari tujuh negara mayoritas Muslim. Kini, langkah tersebut diperluas dengan cakupan negara yang lebih luas dan alasan keamanan yang lebih eksplisit.
Reaksi Keras dari Luar Negeri dan Dalam Negeri
Kebijakan ini menuai reaksi keras dari sejumlah negara terdampak. Presiden Chad, Mahamat Idriss Déby Itno, langsung memerintahkan penghentian pemberian visa kepada warga negara AS sebagai respons atas kebijakan Trump. Dalam pernyataannya di Facebook, ia menyebut negaranya memiliki “martabat dan harga diri”, meski tidak memiliki kekayaan seperti Qatar, yang disebut-sebut memberi pesawat dan investasi besar ke AS.
Sementara itu, warga Afghanistan yang selama ini bekerja untuk proyek-proyek AS kini berada dalam ketidakpastian. Banyak dari mereka mengaku khawatir akan dipulangkan dan menghadapi risiko pembalasan dari Taliban jika larangan ini tetap diberlakukan.
Kritik dari Kongres AS
Dari dalam negeri, sejumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat mengecam kebijakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi. Anggota DPR AS Ro Khanna menyebut langkah Trump “kejam dan tidak konstitusional”, serta mengingatkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mencari suaka.
“Larangan perjalanan Trump terhadap warga dari lebih dari 12 negara adalah kebijakan yang tidak manusiawi dan melanggar prinsip dasar konstitusi AS,” tulis Khanna melalui akun media sosialnya.