Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali menekan industri farmasi dalam upaya menurunkan harga obat-obatan yang dinilai terlalu mahal bagi masyarakat Amerika. Melalui perintah eksekutif yang ditandatangani pada Senin (12/5/2025) waktu setempat, Trump meminta perusahaan farmasi untuk secara sukarela memangkas harga atau menghadapi potensi tindakan regulasi.
Mengutip Bloomberg, Selasa (13/5/2025), Trump menyatakan bahwa harga obat di AS jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain, yang membuat warga Amerika secara tidak langsung menyubsidi sistem kesehatan negara lain. “Warga kita tidak seharusnya membayar lebih mahal agar negara lain bisa menikmati harga murah,” tegasnya. Ia juga menyerukan agar negara lain mulai membayar lebih mahal demi menciptakan keseimbangan global dalam pembiayaan kesehatan.
Dalam perintah eksekutif tersebut, Trump menginstruksikan Perwakilan Dagang AS dan Departemen Perdagangan untuk menindak kebijakan luar negeri yang dianggap tidak adil dan menekan harga obat global secara artifisial. Langkah ini juga mencakup potensi pembatasan terhadap negara-negara yang dianggap memberlakukan tarif atau kebijakan diskriminatif terhadap industri farmasi AS.
Selain itu, pemerintah juga menyoroti peran manajer manfaat farmasi—pihak perantara antara produsen obat dan perusahaan asuransi—yang dinilai menyumbang tingginya harga. Trump meminta Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) mencari solusi agar produsen bisa menjual obat langsung ke pasien dengan harga lebih rendah, meski belum ada rincian implementasi dari rencana tersebut.
Pejabat Gedung Putih menyatakan upaya ini akan difokuskan pada program Medicare, terutama pada obat-obatan penurun berat badan yang tengah populer. Target lebih luas adalah menurunkan harga di seluruh sistem asuransi swasta.
Trump juga membuka kemungkinan untuk meningkatkan impor obat dari luar negeri sebagai alat tekan terhadap perusahaan farmasi domestik. Meski secara hukum impor obat masih dibatasi, pengecualian telah diberikan untuk penggunaan pribadi, terutama dari Kanada. Jika produsen tidak bersedia bernegosiasi, pemerintah bisa memperluas opsi impor dari negara lain.
Kebijakan baru ini merupakan kelanjutan dari pendekatan Trump di masa jabatan pertamanya, di mana ia juga berusaha menurunkan harga obat namun gagal akibat tantangan hukum. Saat itu, ia bahkan menyembunyikan perintah eksekutif dari publik sebagai taktik negosiasi dengan perusahaan farmasi.
Meski kekhawatiran sempat muncul, respons pasar ternyata cukup positif. Saham perusahaan farmasi seperti Eli Lilly & Co., Pfizer Inc., Bristol Myers Squibb Co., dan Merck & Co. sempat turun ketika Trump mengisyaratkan kebijakan barunya melalui media sosial pada Minggu malam, namun langsung rebound ketika rincian perintah tersebut diumumkan.
“Perintah eksekutif ini tidak jelas dan minim rincian implementasi,” tulis analis Jefferies, Michael Yee, dalam catatannya. “Reaksi pasar positif karena dianggap lebih lunak dari yang dikhawatirkan.”
Sementara itu, juru bicara Merck dan Novo Nordisk menolak berkomentar. Perwakilan dari Eli Lilly menyatakan bahwa harga seharusnya dibagi lebih adil di antara negara-negara maju dan menuding perantara sebagai pihak yang harus memangkas margin mereka. Adapun Johnson & Johnson, Pfizer, dan Bristol Myers belum memberikan tanggapan.
Langkah Trump ini menjadi bagian dari tekanan politik yang terus meningkat terhadap sektor farmasi, dengan kabar bahwa pemerintah AS juga tengah mempertimbangkan pemberlakuan tarif baru terhadap produk farmasi dalam waktu dekat.